Di Ladang

Di Ladang

Di Ladang

Karya 3D oleh Klay Abele

Karya 3D oleh Klay Abele

Sebetulnya aku dan Dio tidak terlalu dekat, kami sesekali memang suka pergi bersama-sama, dan melakukan sebuah kegiatan bersama-sama. Tapi apakah kami bisa dibilang teman dekat? Aku tidak tahu. Kegiatan itu rutin kami lakukan setiap sore. Menjelajahi area dusun, berbincang-bincang, berjalan-jalan, dan jika ada kesempatan, Dio membawa beberapa botol bir untuk kami nikmati di sebuah taman bermain terbengkalai di belakang dusun.


Untuk kegiatan minum-minum ini, aku selalu merasa gelisah. Bukan apa-apa, Dio selalu membawa empat sampai lima botol bir untuk kami nikmati, padahal ia tahu betul kalau kami ini hanya berdua, dua botol bir sudah lebih dari cukup. Satu untukku dan satu untuknya. Tapi tidak, dia selalu membawa lebih. Aku juga heran, apakah dia mau memamerkan kemampuannya untuk bisa menenggak banyak bir? Kalau pun iya, harusnya ketika ritual minum-minum ini dimulai, Dio tidak menjadi pihak yang pertama kali mabuk duluan. Terhitung sudah tiga kali sejak kegiatan ini berjalan, aku harus memopong Dio kembali ke kapsulnya. Tapi, meskipun begitu, aku selalu mengiyakan setiap ia mengajakku untuk pergi.


Mengapa harus di taman bermain itu? Jawaban Dio waktu itu sederhana: “Tidak tahu juga, sepertinya seru saja”. Dio memang tidak pernah mau repot-repot berbicara panjang lebar. Pembicaraan kami pun selama ini juga tidak pernah menyentuh ke hal-hal yang berat (entah antara kami sama-sama tidak mau membicarakannya atau kami memang terlalu bodoh untuk mengerti hal-hal yang berat itu, sehingga kami tidak bisa membicarakannya). Obrolan kami biasanya tidak jauh-jauh dari: “Apakah kau pergi ke ladang besok?”, “Jadi hari ini apa saja yang akan kita lakukan?”, dan “Bagaimana kalau kita minum birnya sekarang?” tidak lebih dan tidak kurang, hanya itu-itu saja. Sisanya? kesunyian.


Aku dan Dio pertama kali bertemu di tempat kerja kami. Sebuah hamparan rumput yang berisikan bangkai pesawat-pesawat nirawak sisa perang (belakangan agar lebih mudah diingat dan diucap, kami menyebutnya “ladang”). Di sana, pemuda-pemudi berumur sembilan belas hingga dua puluh tahun bekerja sebagai pengepul baterai-baterai fusi nuklir yang masih aktif untuk kemudian diambil dan diolah kembali untuk kegunaan dusun. Kami bekerja dari pukul 10.00 pagi hingga pukul 03.00 sore. Lengkap dengan hazmat kuning kami.


***


“Tidak seperti ini” ucap Dio sambil memandangi ladang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat itu kami sedang istirahat makan siang.“Maksudmu?” tanyaku yang sedikit kaget dan agak senang juga. Karena sepertinya topik obrolan kita bertambah. Dio pun memberikanku sebuah foto. Foto itu sudah sedikit rusak dan kecoklatan, tapi setidaknya masih ada beberapa hal yang bisa kulihat: sepasang anak kecil yang berlarian di sebuah ladang. Begitu hijau, begitu asri. Aku tidak bisa melihat jelas wajah mereka, tapi sepertinya mereka gembira.“Di mana kau temukan ini?” tanyaku.“Kemarin, di area barat ladang, sesaat sebelum waktu bekerja berakhir, aku menemukan secarik foto ini di salah satu buritan bangkai pesawat” jawabnya.


“Terkadang aku selalu penasaran” ucap Dio.“Penasaran kenapa?” tanyaku. “Entahlah, sepertinya kita, dan semuanya, tidak selalu seperti ini” jawabnya. Seperti biasanya, aku dan Dio kemudian terdiam. Kami sama-sama memandangi ladang.


Butuh sedikit waktu, namun aku mulai paham apa yang ia bicarakan. Ada saat-saat di mana kami pernah merasakan masa-masa yang pernah manusia pada umumnya rasakan. Ia benar, tempat ini memang tidak selalu seperti ini. Tidak selalu mengenai kabut tebal yang terus hadir setiap hari. Tidak selalu mengenai bunyi menara-menara pengawas yang telah berkarat dan rapuh. Tidak selalu mengenai hawa dingin yang menusuk ke dalam kulit setiap jamnya. Tidak selalu mengenai lolongan serigala yang menemani saat malam. Tidak selalu mengenai bangunan-bangunan yang tertinggal dan kosong. Tidak selalu mengenai mesin-mesin peranti bergerak besar yang terus melaju tanpa mengetahui arah dan tujuannya.

Sebetulnya aku dan Dio tidak terlalu dekat, kami sesekali memang suka pergi bersama-sama, dan melakukan sebuah kegiatan bersama-sama. Tapi apakah kami bisa dibilang teman dekat? Aku tidak tahu. Kegiatan itu rutin kami lakukan setiap sore. Menjelajahi area dusun, berbincang-bincang, berjalan-jalan, dan jika ada kesempatan, Dio membawa beberapa botol bir untuk kami nikmati di sebuah taman bermain terbengkalai di belakang dusun.


Untuk kegiatan minum-minum ini, aku selalu merasa gelisah. Bukan apa-apa, Dio selalu membawa empat sampai lima botol bir untuk kami nikmati, padahal ia tahu betul kalau kami ini hanya berdua, dua botol bir sudah lebih dari cukup. Satu untukku dan satu untuknya. Tapi tidak, dia selalu membawa lebih. Aku juga heran, apakah dia mau memamerkan kemampuannya untuk bisa menenggak banyak bir? Kalau pun iya, harusnya ketika ritual minum-minum ini dimulai, Dio tidak menjadi pihak yang pertama kali mabuk duluan. Terhitung sudah tiga kali sejak kegiatan ini berjalan, aku harus memopong Dio kembali ke kapsulnya. Tapi, meskipun begitu, aku selalu mengiyakan setiap ia mengajakku
untuk pergi.


Mengapa harus di taman bermain itu? Jawaban Dio waktu itu sederhana: “Tidak tahu juga, sepertinya seru saja”. Dio memang tidak pernah mau repot-repot berbicara panjang lebar. Pembicaraan kami pun selama ini juga tidak pernah menyentuh ke hal-hal yang berat (entah antara kami sama-sama tidak mau membicarakannya atau kami memang terlalu bodoh untuk mengerti hal-hal yang berat itu, sehingga kami tidak bisa membicarakannya). Obrolan kami biasanya tidak jauh-jauh dari: “Apakah kau pergi ke ladang besok?”, “Jadi hari ini apa saja yang akan kita lakukan?”, dan “Bagaimana kalau kita minum birnya sekarang?” tidak lebih dan tidak kurang, hanya itu-itu saja. Sisanya? kesunyian.


Aku dan Dio pertama kali bertemu di tempat kerja kami. Sebuah hamparan rumput yang berisikan bangkai pesawat-pesawat nirawak sisa perang (belakangan agar lebih mudah diingat dan diucap, kami menyebutnya “ladang”). Di sana, pemuda-pemudi berumur sembilan belas hingga dua puluh tahun bekerja sebagai pengepul baterai-baterai fusi nuklir yang masih aktif untuk kemudian diambil dan diolah kembali untuk kegunaan dusun. Kami bekerja dari pukul 10.00 pagi hingga pukul 03.00 sore. Lengkap dengan hazmat kuning kami.


***


“Tidak seperti ini” ucap Dio sambil memandangi ladang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat itu kami sedang istirahat makan siang. “Maksudmu?” tanyaku yang sedikit kaget dan agak senang juga. Karena sepertinya topik obrolan kita bertambah. Dio pun memberikanku sebuah foto. Foto itu sudah sedikit rusak dan kecoklatan, tapi setidaknya masih ada beberapa hal yang bisa kulihat: sepasang anak kecil yang berlarian di sebuah ladang. Begitu hijau, begitu asri. Aku tidak bisa melihat jelas wajah mereka, tapi sepertinya mereka gembira.“Di mana kau temukan ini?” tanyaku.“Kemarin, di area barat ladang, sesaat sebelum waktu bekerja berakhir, aku menemukan secarik foto ini di salah satu buritan bangkai pesawat” jawabnya.


“Terkadang aku selalu penasaran” ucap Dio. “Penasaran kenapa?” tanyaku. “Entahlah, sepertinya kita, dan semuanya, tidak selalu seperti ini” jawabnya. Seperti biasanya, aku dan Dio kemudian terdiam. Kami sama-sama memandangi ladang.


Butuh sedikit waktu, namun aku mulai paham apa yang ia bicarakan. Ada saat-saat di mana kami pernah merasakan masa-masa yang pernah manusia pada umumnya rasakan. Ia benar, tempat ini memang tidak selalu seperti ini. Tidak selalu mengenai kabut tebal yang terus hadir setiap hari. Tidak selalu mengenai bunyi menara-menara pengawas yang telah berkarat dan rapuh. Tidak selalu mengenai hawa dingin yang menusuk ke dalam kulit setiap jamnya. Tidak selalu mengenai lolongan serigala yang menemani saat malam. Tidak selalu mengenai bangunan-bangunan yang tertinggal dan kosong. Tidak selalu mengenai mesin-mesin peranti bergerak besar yang terus melaju tanpa mengetahui arah dan tujuannya.

See Other Writings

Find More About Me

Find More About Me