The Garden of Earthly Delights
The Garden of Earthly Delights
The Garden of Earthly
Delights
Sesaat Pasca-tiupan itu. Kami Bertemu.
Sesaat Pasca-tiupan itu. Kami Bertemu.
Sesaat Pasca-tiupan itu.
Kami Bertemu.
Potongan Lukisan "The Garden of Earthly Delights" Karya Hieronymus Bosch
Potongan Lukisan "The Garden of Earthly Delights" Karya Hieronymus Bosch
Dan aku pun melihatnya, sinar terakhir yang membawa Anak Manusia itu menembus langit. Hujan api yang bercucuran kemudian berubah seketika menjadi hujan air. Di sini, aku terbaring menatap ke arah mendungnya awan, dikelilingi sisa-sisa kehidupan yang tertolak mentah-mentah. Bau amis mulai menyeruak dari badan, “Ini bau darah” pikirku, dan ini bukan cuman darahku seorang. Untungnya, rintik-rintik air yang jatuh secara perlahan mulai menyapu bersih darah-darah yang ada di sekujur tubuhku.
“Dia menyebutnya Pembersihan”, sebuah suara samar-samar muncul dari balik reruntuhan yang ada disampingku. Suara itu kemudian menjelma menjadi sesosok cahaya, yang begitu menyilaukan. “Jangan takut” serunya. Cahaya itu pun mendekatiku. “Hanya kau seorang rupanya ya”, kata cahaya itu, “Iya”, jawabku. “Ha ha ha, sudah kuduga, Dia bilang kau satu-satunya yang ingin sekali untuk tetap tinggal di sini”, sindirnya. Cahaya itu pun mulai pudar dan memunculkan wujud aslinya. Ia mengenggam sebuah lukisan.
“Apa itu?”, tanyaku. “Ahh ini, Bosch”, jawabnya. “Kami para Penghulu menyukai lukisan ini, terutama aku dan Raguel, mengingatkan kami akan masa lalu kami, saat semuanya belum bermula. Aku selalu ingin melihat lukisan ini dari dekat, ku pikir jika kalian semua sudah terangkat, tidak ada salahnya kan jika aku mengambilnya, toh kalian semua juga tidak akan kembali ke sini lagi ha ha ha ha ha”, dia pun tertawa, terdiam sejenak, lalu mulai membuka lukisan itu dan memandanginya. “Ahh iya aku belum menanyakan ini, tapi mengapa kau bersikeras untuk tinggal di sini?”, tanyanya. “Hanya tempat ini yang aku punya, di atas sana…aku tidak yakin apa yang ada di atas sana”, jawabku getir. Setelah apa yang terjadi, aku betul-betul tidak punya tenaga lagi, kaki dan tanganku mati rasa, untuk bangun saja sepertinya aku tidak sanggup.
Aku pun mengamatinya, ia tampak begitu menikmati lukisan itu, ia kemudian mengarahkan pandangannya ke arahku, melipat lukisannya, lalu duduk disampingku.
“Ck ck ck betul-betul keras kepala rupanya”, katanya. “Maksudmu?”, tanyaku. “Memangnya apa yang bisa tempat ini berikan? Selain kesedihan dan kesengsaraan?”, ia lalu mulai membaringkan badannya disampingku. “Aku tidak tahu” jawabku. “Ha ha ha ha ha mengagumkan, sungguh-sungguh mengagumkan, manusia memang betul-betul bisa memperlihatkan ketangguhan, keberanian, kebodohan dan kebebalan di saat yang bersamaan, setelah meterai yang keenam, tidak kusangka masih ada mahkluk yang sanggup membuatku terhibur seperti ini”, sahutnya.
“Tetapi aku bersungguh-sungguh, aku tidak tahu mengapa aku memilih untuk bertahan…”, pada saat-saat ini, aku terus mencari-cari alasan mengapa aku bersikeras untuk tinggal. Mungkin karena di sini, di tempat ini, pertama kalinya aku bisa merasakan kasih sayang. Mungkin karena di sini, di tempat ini pertama kalinya hatiku di patahkan. Mungkin karena di sini, di tempat ini, aku bisa mencium wangi masakan Ibu yang selalu ia tambahkan gula (iya ya aku baru ingat, Ibu senang sekali menambahkan gula di setiap masakannya) atau mungkin karena Ayah yang selalu marah-marah karena koran pagi pesanannya selalu datang terlambat? Mungkin juga karena di sini, di tempat ini, aku bisa mendengar keriuhan bocah-bocah yang selalu berenang saat banjir datang, menikmati tiap tetesan hujannya. Tapi aku tidak sungguh-sungguh tau mengapa aku tetap ingin bertahan di sini, di tempat ini.
“Aku…” dari semua kata-kata yang pernah terucapkan, hanya kata ini yang terlintas di pikiranku. “Lelah”, jawabku. Ia kemudian terlihat keheranan dan bingung. Sepertinya itu reaksi yang wajar karena aku juga tidak tahu apa yang sebetulnya aku bicarakan. “Terima kasih”, kataku. “Hmm? Terima kasih? Untuk apa?” tanyanya yang semakin kebingungan. “Kau bisa saja langsung pergi setelah semuanya selesai, tapi kau memilih untuk di sini”, jawabku. “Ah betul juga, kenapa tidak terpikirkan olehku ya” ia kemudian tersenyum, memandangiku, lalu berkata, “Nampaknya, untuk saat ini, kita berdua menjadi mahkluk yang betul-betul bodoh”.
Ia kemudian kembali tertawa, namun kali ini lain, entah mengapa ada sesuatu yang menggelitikku. Setelah semuanya usai, setelah semua yang kukenal runtuh menjadi kepingan. Aku, mulai tertawa. Tawa kami membuncah dan menggema, hingga mengalahkan riuhnya gemuruh hujan.
Dan aku pun melihatnya, sinar terakhir yang membawa Anak Manusia itu menembus langit. Hujan api yang bercucuran kemudian berubah seketika menjadi hujan air. Di sini, aku terbaring menatap ke arah mendungnya awan, dikelilingi sisa-sisa kehidupan yang tertolak mentah-mentah. Bau amis mulai menyeruak dari badan, “Ini bau darah” pikirku, dan ini bukan cuman darahku seorang. Untungnya, rintik-rintik air yang jatuh secara perlahan mulai menyapu bersih darah-darah yang ada di sekujur tubuhku.
“Dia menyebutnya Pembersihan”, sebuah suara samar-samar muncul dari balik reruntuhan yang ada disampingku. Suara itu kemudian menjelma menjadi sesosok cahaya, yang begitu menyilaukan. “Jangan takut” serunya. Cahaya itu pun mendekatiku. “Hanya kau seorang rupanya ya”, kata cahaya itu, “Iya”, jawabku. “Ha ha ha, sudah kuduga, Dia bilang kau satu-satunya yang ingin sekali untuk tetap tinggal di sini”, sindirnya. Cahaya itu pun mulai pudar dan memunculkan wujud aslinya. Ia mengenggam sebuah lukisan.
“Apa itu?”, tanyaku. “Ahh ini, Bosch”, jawabnya. “Kami para Penghulu menyukai lukisan ini, terutama aku dan Raguel, mengingatkan kami akan masa lalu kami, saat semuanya belum bermula. Aku selalu ingin melihat lukisan ini dari dekat, ku pikir jika kalian semua sudah terangkat, tidak ada salahnya kan jika aku mengambilnya, toh kalian semua juga tidak akan kembali ke sini lagi ha ha ha ha ha”, dia pun tertawa, terdiam sejenak, lalu mulai membuka lukisan itu dan memandanginya. “Ahh iya aku belum menanyakan ini, tapi mengapa kau bersikeras untuk tinggal di sini?”, tanyanya. “Hanya tempat ini yang aku punya, di atas sana…aku tidak yakin apa yang ada di atas sana”, jawabku getir. Setelah apa yang terjadi, aku betul-betul tidak punya tenaga lagi, kaki dan tanganku mati rasa, untuk bangun saja sepertinya aku tidak sanggup.
Aku pun mengamatinya, ia tampak begitu menikmati lukisan itu, ia kemudian mengarahkan pandangannya ke arahku, melipat lukisannya, lalu duduk disampingku. “Ck ck ck betul-betul keras kepala rupanya”, katanya. “Maksudmu?”, tanyaku. “Memangnya apa yang bisa tempat ini berikan? Selain kesedihan dan kesengsaraan?”, ia lalu mulai membaringkan badannya disampingku. “Aku tidak tahu” jawabku. “Ha ha ha ha ha mengagumkan, sungguh-sungguh mengagumkan, manusia memang betul-betul bisa memperlihatkan ketangguhan, keberanian, kebodohan dan kebebalan di saat yang bersamaan, setelah meterai yang keenam, tidak kusangka masih ada mahkluk yang sanggup membuatku terhibur seperti ini”, sahutnya.
“Tetapi aku bersungguh-sungguh, aku tidak tahu mengapa aku memilih untuk bertahan…”, pada saat-saat ini, aku terus mencari-cari alasan mengapa aku bersikeras untuk tinggal. Mungkin karena di sini, di tempat ini, pertama kalinya aku bisa merasakan kasih sayang. Mungkin karena di sini, di tempat ini pertama kalinya hatiku di patahkan. Mungkin karena di sini, di tempat ini, aku bisa mencium wangi masakan Ibu yang selalu ia tambahkan gula (iya ya aku baru ingat, Ibu senang sekali menambahkan gula di setiap masakannya) atau mungkin karena Ayah yang selalu marah-marah karena koran pagi pesanannya selalu datang terlambat? Mungkin juga karena di sini, di tempat ini, aku bisa mendengar keriuhan bocah-bocah yang selalu berenang saat banjir datang, menikmati tiap tetesan hujannya. Tapi aku tidak sungguh-sungguh tau mengapa aku tetap ingin bertahan di sini, di tempat ini.
“Aku…” dari semua kata-kata yang pernah terucapkan, hanya kata ini yang terlintas di pikiranku. “Lelah”, jawabku. Ia kemudian terlihat keheranan dan bingung. Sepertinya itu reaksi yang wajar karena aku juga tidak tahu apa yang sebetulnya aku bicarakan. “Terima kasih”, kataku. “Hmm? Terima kasih? Untuk apa?” tanyanya yang semakin kebingungan. “Kau bisa saja langsung pergi setelah semuanya selesai, tapi kau memilih untuk di sini”, jawabku. “Ah betul juga, kenapa tidak terpikirkan olehku ya” ia kemudian tersenyum, memandangiku, lalu berkata, “Nampaknya, untuk saat ini, kita berdua menjadi mahkluk yang betul-betul bodoh”.
Ia kemudian kembali tertawa, namun kali ini lain, entah mengapa ada sesuatu yang menggelitikku. Setelah semuanya usai, setelah semua yang kukenal runtuh menjadi kepingan. Aku, mulai tertawa. Tawa kami membuncah dan menggema, hingga mengalahkan riuhnya gemuruh hujan.
See Other Writings
See Other Writings