Di Ladang Bagian II:

Di Ladang Bagian II:

Di Ladang Bagian II:

Pak Jahidin dan Cerita-ceritanya

Pak Jahidin dan Cerita-ceritanya

Pak Jahidin dan Cerita-ceritanya

Karya 3D oleh Klay Abele

Karya 3D oleh Klay Abele

“Heh! Begini terus, begitu terus!” ucap Pak Jahidin, seseorang yang bertanggungjawab atas seluruh jaringan listrik di dusun kami. “Sudah yang ketiga kalinya robot-robot tak bertuan itu merusak gardu listrik! Heh! Harusnya saya matikan saja sejak awal! Heh!” keluh Pak Jahidin.


Aku, Dio, dan Pak Jahidin biasanya bertemu di tempat pendauran dan pengolahan baterai-baterai fusi nuklir. Kami biasanya sering ditugasi untuk mengangkut baterai-baterai ini ke tempat pendauran (entah mengapa aku dan Dio sering sekali kedapatan untuk tugas pengantaran) dan Pak Jahidin biasanya datang untuk mengecek kelayakan baterai. Di sela-sela kegiatan ini, kami sesekali mengobrol.


Ada begitu banyak cerita menarik yang sering keluar dari mulut Pak Jahidin. Karena dia satu-satunya orang yang mengurusi urusan perlistrikan, maka dia harus sering berhadapan dengan mahkluk-mahkluk — baik dari mesin atau pun dari daging — yang sering mengobrak-abrik gardu. Pesebaran letak antar gardu listrik pun cukup jauh, dan jalan-jalan yang dibentuk oleh para pemukim sebelumnya pun sudah banyak yang rusak dan ditumbuhi banyak rerumputan atau ilalang, terkadang ia juga harus membuka jalan baru, melewati hutan, atau menerobos sungai.


Hanya dia dan Tuhan yang tahu bahaya apa yang akan dihadapinya nanti. “Heh! sudah begitu sempat-sempatnya dicegat beruang tadi, Heh! Untungnya tidak terjadi apa-apa!” ucap Pak Jahidin sambil menggerakkan mesin yang akan mengambil baterai-baterai yang kami bawa, untuk nantinya diperiksa di ruang pemeriksaan baterai.


Sama seperti kami, Ia pun kemudian memakai pakaian hazmatnya, menggunakan alat kotak kuning dengan pengukurnya, untuk memastikan apakah baterai yang kami bawa masih layak dipakai atau tidak. “Heh, harusnya tadi saya menyerahkan diri saya saja ya kepada beruang-beruang itu, biar tidak mengerjakan hal-hal ini lagi, heh! Ah tapi bodoh juga kalau sungguhan, digerogoti beruang terdengar keren sih, tapi kan yah pasti menyakitkan juga! Heh! Harus cari cara yang lain nampaknya!”.


Pak Jahidin memang sering sekali berkelakar tentang bagaimana nantinya ia akan mati, mulai dari hampir ikut meledak karena tertangkap oleh jebakan sisa perang, tenggelam ke dalam dasar danau bersama truk listrik kesayangannya, atau bertarung dengan serigala-serigala hutan hingga napas terakhir. Tidak kusangka menjadi petugas kelistrikan akan sesulit ini, pekerjaannya begitu dekat sekali dengan maut.


“Bocah-bocah ini sudah pada makan belum! Hemm!?” tanya Pak Jahidin dengan matanya yang melotot, sambil melihat kami yang sudah dari tadi memegang perut kami. Aku dan Dio pun seketika tersenyum. Sebetulnya kalau boleh jujur, ada dua hal yang kami sukai ketika bertemu dengan Pak Jahidin, yang pertama adalah cerita-ceritanya dan yang kedua tentu saja adalah masakannya. Makanan-makanan kaleng dan pil protein sudah membuat lidah kami berdua sedikit mati rasa, tidak ada kenikmatan yang timbul dari makanan-makanan itu, selain membuat kami bisa beraktivitas kembali. Hambar. Begitu saja. Yang penting kenyang.


Tapi itu menjadi perkara lain saat Pak Jahidin kebetulan membawa pulang hasil keisengannya (berburu) dan memasaknya. Terkadang terwelu, terkadang rusa, dan terkadang ikan. Kali ini ia pulang dengan beberapa ekor ikan di kap belakang truknya. Kami pun bersama-sama menyantap hidangan ikan yang telah dibakar di belakang gedung pendauran. Pak Jahidin nampaknya tidak lapar, ia hanya memandangi kami yang sedang memakan ikannya dengan lahap. “Nah bagus! Ayo makan! Saya tahu ini kalian jarang-jarang kan dapat makanan selezat ini! Heh?! Apalagi sudah terlihat akan hujan, menyantap ikan-ikan bakar ini ditemani rintik hujan pasti lebih nikmat!” sahut Pak Jahidin.


“Hari ini arus sungai tidak begitu kencang” sahut Pak Jahidin, “Kalian beruntung, kali ini ikan bodoh itu menangkap umpan-umpan saya, kalau tidak, mungkin yang bisa kalian makan hanya debu baterai saja! Heh Heh Heh Heh!” seru Pak Jahidin sambil terkekeh. Ia kemudian mengambil alat pemurni air, membukanya dan menuangkan kami masing-masing segelas air sungai yang segar.


Saat kami sedang asik menyantap hidangan ikan yang mungkin menjadi hidangan terenak bulan ini, tiba-tiba Pak Jahidin sontak berdiri, Ia memandang ke arah tanah lapang di seberang kami. “Heh! Bajingan! Robot sialan itu lagi! Dia pasti sedang dalam perjalanan menuju ke gardu!” ucap Pak Jahidin. “ROBOT SIALAN!” Tanpa basa-basi, Pak Jahidin lari menuju ke arah robot tersebut: ia menurunin bukit dari tempat kami beristirahat sampai pada tanah lapang di mana robot itu berada. Aku dan Dio saling memandangi satu sama lain, berfikir apakah kita harus menyusul Pak Jahidin atau menghabiskan santapan ini terlebih dahulu.


“Tanggung sedikit lagi” Dio berujar. Kami pun memutuskan untuk menghabiskan santapan ini terlebih dahulu.


Dari jauh kami melihat Pak Jahidin dengan sigapnya berdiri, menghalangi jalur robot itu. Satu robot, aku melihat hanya satu robot, lebih tinggi sedikit dari Pak Jahidin, begitu usang, lampu kepalanya sudah redup, tapi rangka robot itu masih terlihat gagah dan kokoh. “HEH! KAMU LAGI!” teriak Pak Jahidin sambil menunjuk-nunjuk ke arah robot tersebut. Robot itu terdiam. “Aku mencari-carimu dari kemarin! Aku tidak akan membiarkanmu lolos lagi DJAROT!!” teriak Pak Jahidin sambil mendorong-dorong robot tersebut. “Djarot!? Sejak kapan robot-robot itu punya nama?” tanyaku bingung. Aku melihat ke arah Dio dan dia hanya menaikkan pundaknya (memberikan gestur tidak tahu) sambil tetap mengunyah.


“Kau telah menjadi lawanku tersulit minggu ini! Aku tidak akan membiarkanmu lewat dengan mudahnya” teriak Pak Jahidin. Pak Jahidin terlihat benar-benar serius kali ini, ia membuka jaket dan topinya, melemparnya ke tanah. Dengan hanya bertelanjang dada dan tubuhnya yang kurus, ia mulai mendorong sekuat tenaga robot itu. Robot itu terjatuh lalu bangkit lagi. Robot itu kemudian mengangkat Pak Jahidin dan melempar badannya ke belakang. “DEBRAKK!” Pak Jahidin terbanting. Aku dan Dio tahu ini sudah tandanya menyelesaikan santapan kami dan menyusul Pak Jahidin, kami tidak ingin ia tiba-tiba mati di sini, meskipun ia selalu menginginkannya.


“Pak Jahidin!” teriakku sambil bergegas menyusulnya. Rintik hujan sudah mulai turun, dan kami perlahan menghampiri Pak Jahidin. Pak Jahidin terlihat masih tergeletak lemas di tanah, “Pak Jahidin!” ucapku sambil berusaha menyadarkannya, “Lebih baik kita langsung angkut saja dia sekarang dan membawanya ke Poskes” kata Dio.


Saat aku dan Dio berusaha mengangkutnya, Pak Jahidin seketika membuka matanya, menepis kedua tangan kami, lalu berteriak “DJAROT! Aku belum selesai!”, ia lalu berlari ke arah robot itu lalu menyerangnya dari arah belakang; robot itu terlihat kesusahan, tangan robot itu kemudian berusaha memukul Pak Jahidin, tapi kali ini ia menghindar, dengan sigapnya Pak Jahidin membungkuk, ia kemudian memindahkan tubuhnya ke arah bagian depan robot itu, “Heh! Hanya segini kemampuanmu?!” sahut Pak Jahidin, ia lalu menengadahkan kepalanya sedikit kebelakang, mengambil ancang-ancang lalu menyundul sekeras mungkin kepala robot itu, “DRUAAK!” kepala robot itu penyok dan lampu depannya pecah, robot itu kemudian terdiam kaku sebelum akhirnya jatuh terhampas ke tanah.


Aku dan Dio syok dan masih mencerna apa yang sebetulnya terjadi. Pak Jahidin kemudian melihat ke arah robot itu, memastikan bahwa robot itu tidak akan bangkit lagi. Selang beberapa menit robot itu tetap tergeletak di tanah dan tak bergerak. Kepala Pak Jahidin mulai mengeluarkan darah, “Pak Jahidin! Kepalamu! Berda..” sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku Pak Jahidin menggerakan tangan kanannya dan memotong ucapanku, “Shush! Biarkan aku menikmatinya”, Pak Jahidin kemudian memejamkan matanya dan mengarahkan kepalanya ke langit, rintik hujan dan darah dari kepalanya membasahi mukanya.


Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Pak Jahidin, tetapi ia terlihat tersenyum. “Heh he he” Pak Jahidin mulai tertawa, “Hehaha, HEHAHA, HAHAHAHA!” tawanya mengeras, ia lalu mengepalkan tangan kanannya dan mengarahkannya ke atas. “HEHAHAHA LIHAT AKU SEKARANG!! LIHAT! AKU TERUS BERTAHAN, IRMA!! AKU MASIH HIDUP!! HEHAHAHA” ia berteriak ke atas langit, menyatakan kemenangannya.


Setelah semua kegilaan itu, Pak Jahidin kemudian menatap kami, dan bertanya “Heh! Jadi bagaimana rasa ikan bakarnya? Enak?!”. Aku dan Dio kembali melihat satu sama lain, lalu kami mengangguk. Aku dan Dio masih tidak mengerti apa yang sebetulnya sedang terjadi, kami kemudian berjalan kembali ke arah gedung pengolahan, Pak Jahidin berada di depan kami ia lalu mengambil kembali topi dan jaketnya, kami berada di belakangnya. Aku melihat kembali ke arah robot yang jatuh tersebut, “Ceritanya” Dio berbisik, “Hmm? Maksudmu?” tanyaku, “Kita sedang berada di dalam ceritanya” jawab Dio.


Ahh betul juga…di antara beruang, serigala, dan robot-robot tak bertuan yang pernah diceritakan Pak Jahidin, kami menjadi salah satu bagiannya.

“Heh! Begini terus, begitu terus!” ucap Pak Jahidin, seseorang yang bertanggungjawab atas seluruh jaringan listrik di dusun kami. “Sudah yang ketiga kalinya robot-robot tak bertuan itu merusak gardu listrik! Heh! Harusnya saya matikan saja sejak awal! Heh!” keluh Pak Jahidin. Aku, Dio, dan Pak Jahidin biasanya bertemu di tempat pendauran dan pengolahan baterai-baterai fusi nuklir. Kami biasanya sering ditugasi untuk mengangkut baterai-baterai ini ke tempat pendauran (entah mengapa aku dan Dio sering sekali kedapatan untuk tugas pengantaran) dan Pak Jahidin biasanya datang untuk mengecek kelayakan baterai. Di sela-sela kegiatan ini, kami sesekali mengobrol.


Ada begitu banyak cerita menarik yang sering keluar dari mulut Pak Jahidin. Karena dia satu-satunya orang yang mengurusi urusan perlistrikan, maka dia harus sering berhadapan dengan mahkluk-mahkluk — baik dari mesin atau pun dari daging — yang sering mengobrak-abrik gardu. Pesebaran letak antar gardu listrik pun cukup jauh, dan jalan-jalan yang dibentuk oleh para pemukim sebelumnya pun sudah banyak yang rusak dan ditumbuhi banyak rerumputan atau ilalang, terkadang ia juga harus membuka jalan baru, melewati hutan, atau menerobos sungai. Hanya dia dan Tuhan yang tahu bahaya apa yang akan dihadapinya nanti. “Heh! sudah begitu sempat-sempatnya dicegat beruang tadi, Heh! Untungnya tidak terjadi apa-apa!” ucap Pak Jahidin sambil menggerakkan mesin yang akan mengambil baterai-baterai yang kami bawa, untuk nantinya diperiksa di ruang pemeriksaan baterai.


Sama seperti kami, Ia pun kemudian memakai pakaian hazmatnya, menggunakan alat kotak kuning dengan pengukurnya, untuk memastikan apakah baterai yang kami bawa masih layak dipakai atau tidak. “Heh, harusnya tadi saya menyerahkan diri saya saja ya kepada beruang-beruang itu, biar tidak mengerjakan hal-hal ini lagi, heh! Ah tapi bodoh juga kalau sungguhan, digerogoti beruang terdengar keren sih, tapi kan yah pasti menyakitkan juga! Heh! Harus cari cara yang lain nampaknya!”. Pak Jahidin memang sering sekali berkelakar tentang bagaimana nantinya ia akan mati, mulai dari hampir ikut meledak karena tertangkap oleh jebakan sisa perang, tenggelam ke dalam dasar danau bersama truk listrik kesayangannya, atau bertarung dengan serigala-serigala hutan hingga napas terakhir. Tidak kusangka menjadi petugas kelistrikan akan sesulit ini, pekerjaannya begitu dekat sekali dengan maut.


“Bocah-bocah ini sudah pada makan belum! Hemm!?” tanya Pak Jahidin dengan matanya yang melotot, sambil melihat kami yang sudah dari tadi memegang perut kami. Aku dan Dio pun seketika tersenyum. Sebetulnya kalau boleh jujur, ada dua hal yang kami sukai ketika bertemu dengan Pak Jahidin, yang pertama adalah cerita-ceritanya dan yang kedua tentu saja adalah masakannya. Makanan-makanan kaleng dan pil protein sudah membuat lidah kami berdua sedikit mati rasa, tidak ada kenikmatan yang timbul dari makanan-makanan itu, selain membuat kami bisa beraktivitas kembali. Hambar. Begitu saja. Yang penting kenyang.


Tapi itu menjadi perkara lain saat Pak Jahidin kebetulan membawa pulang hasil keisengannya (berburu) dan memasaknya. Terkadang terwelu, terkadang rusa, dan terkadang ikan. Kali ini ia pulang dengan beberapa ekor ikan di kap belakang truknya. Kami pun bersama-sama menyantap hidangan ikan yang telah dibakar di belakang gedung pendauran. Pak Jahidin nampaknya tidak lapar, ia hanya memandangi kami yang sedang memakan ikannya dengan lahap. “Nah bagus! Ayo makan! Saya tahu ini kalian jarang-jarang kan dapat makanan selezat ini! Heh?! Apalagi sudah terlihat akan hujan, menyantap ikan-ikan bakar ini ditemani rintik hujan pasti lebih nikmat!” sahut Pak Jahidin.

“Hari ini arus sungai tidak begitu kencang” sahut Pak Jahidin, “Kalian beruntung, kali ini ikan bodoh itu menangkap umpan-umpan saya, kalau tidak, mungkin yang bisa kalian makan hanya debu baterai saja! Heh Heh Heh Heh!” seru Pak Jahidin sambil terkekeh. Ia kemudian mengambil alat pemurni air, membukanya dan menuangkan kami masing-masing segelas air sungai yang segar.


Saat kami sedang asik menyantap hidangan ikan yang mungkin menjadi hidangan terenak bulan ini, tiba-tiba Pak Jahidin sontak berdiri, Ia memandang ke arah tanah lapang di seberang kami. “Heh! Bajingan! Robot sialan itu lagi! Dia pasti sedang dalam perjalanan menuju ke gardu!” ucap Pak Jahidin. “ROBOT SIALAN!” Tanpa basa-basi, Pak Jahidin lari menuju ke arah robot tersebut: ia menurunin bukit dari tempat kami beristirahat sampai pada tanah lapang di mana robot itu berada. Aku dan Dio saling memandangi satu sama lain, berfikir apakah kita harus menyusul Pak Jahidin atau menghabiskan santapan ini terlebih dahulu. “Tanggung sedikit lagi” Dio berujar. Kami pun memutuskan untuk menghabiskan santapan ini terlebih dahulu.


Dari jauh kami melihat Pak Jahidin dengan sigapnya berdiri, menghalangi jalur robot itu. Satu robot, aku melihat hanya satu robot, lebih tinggi sedikit dari Pak Jahidin, begitu usang, lampu kepalanya sudah redup, tapi rangka robot itu masih terlihat gagah dan kokoh. “HEH! KAMU LAGI!” teriak Pak Jahidin sambil menunjuk-nunjuk ke arah robot tersebut. Robot itu terdiam. “Aku mencari-carimu dari kemarin! Aku tidak akan membiarkanmu lolos lagi DJAROT!!” teriak Pak Jahidin sambil mendorong-dorong robot tersebut. “Djarot!? Sejak kapan robot-robot itu punya nama?” tanyaku bingung. Aku melihat ke arah Dio dan dia hanya menaikkan pundaknya (memberikan gestur tidak tahu) sambil tetap mengunyah. “Kau telah menjadi lawanku tersulit minggu ini! Aku tidak akan membiarkanmu lewat dengan mudahnya” teriak Pak Jahidin. Pak Jahidin terlihat benar-benar serius kali ini, ia membuka jaket dan topinya, melemparnya ke tanah. Dengan hanya bertelanjang dada dan tubuhnya yang kurus, ia mulai mendorong sekuat tenaga robot itu. Robot itu terjatuh lalu bangkit lagi. Robot itu kemudian mengangkat Pak Jahidin dan melempar badannya ke belakang. “DEBRAKK!” Pak Jahidin terbanting. Aku dan Dio tahu ini sudah tandanya menyelesaikan santapan kami dan menyusul Pak Jahidin, kami tidak ingin ia tiba-tiba mati di sini, meskipun ia selalu menginginkannya.


“Pak Jahidin!” teriakku sambil bergegas menyusulnya. Rintik hujan sudah mulai turun, dan kami perlahan menghampiri Pak Jahidin. Pak Jahidin terlihat masih tergeletak lemas di tanah, “Pak Jahidin!” ucapku sambil berusaha menyadarkannya, “Lebih baik kita langsung angkut saja dia sekarang dan membawanya ke Poskes” kata Dio. Saat aku dan Dio berusaha mengangkutnya, Pak Jahidin seketika membuka matanya, menepis kedua tangan kami, lalu berteriak “DJAROT! Aku belum selesai!”, ia lalu berlari ke arah robot itu lalu menyerangnya dari arah belakang; robot itu terlihat kesusahan, tangan robot itu kemudian berusaha memukul Pak Jahidin, tapi kali ini ia menghindar, dengan sigapnya Pak Jahidin membungkuk, ia kemudian memindahkan tubuhnya ke arah bagian depan robot itu, “Heh! Hanya segini kemampuanmu?!” sahut Pak Jahidin, ia lalu menengadahkan kepalanya sedikit kebelakang, mengambil ancang-ancang lalu menyundul sekeras mungkin kepala robot itu, “DRUAAK!” kepala robot itu penyok dan lampu depannya pecah, robot itu kemudian terdiam kaku sebelum akhirnya jatuh terhampas ke tanah.


Aku dan Dio syok dan masih mencerna apa yang sebetulnya terjadi. Pak Jahidin kemudian melihat ke arah robot itu, memastikan bahwa robot itu tidak akan bangkit lagi. Selang beberapa menit robot itu tetap tergeletak di tanah dan tak bergerak. Kepala Pak Jahidin mulai mengeluarkan darah, “Pak Jahidin! Kepalamu! Berda..” sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku Pak Jahidin menggerakan tangan kanannya dan memotong ucapanku, “Shush! Biarkan aku menikmatinya”, Pak Jahidin kemudian memejamkan matanya dan mengarahkan kepalanya ke langit, rintik hujan dan darah dari kepalanya membasahi mukanya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Pak Jahidin, tetapi ia terlihat tersenyum. “Heh he he” Pak Jahidin mulai tertawa, “Hehaha, HEHAHA, HAHAHAHA!” tawanya mengeras, ia lalu mengepalkan tangan kanannya dan mengarahkannya ke atas. “HEHAHAHA LIHAT AKU SEKARANG!! LIHAT! AKU TERUS BERTAHAN, IRMA!! AKU MASIH HIDUP!! HEHAHAHA” ia berteriak ke atas langit, menyatakan kemenangannya.


Setelah semua kegilaan itu, Pak Jahidin kemudian menatap kami, dan bertanya “Heh! Jadi bagaimana rasa ikan bakarnya? Enak?!”. Aku dan Dio kembali melihat satu sama lain, lalu kami mengangguk. Aku dan Dio masih tidak mengerti apa yang sebetulnya sedang terjadi, kami kemudian berjalan kembali ke arah gedung pengolahan, Pak Jahidin berada di depan kami ia lalu mengambil kembali topi dan jaketnya, kami berada di belakangnya. Aku melihat kembali ke arah robot yang jatuh tersebut, “Ceritanya” Dio berbisik, “Hmm? Maksudmu?” tanyaku, “Kita sedang berada di dalam ceritanya” jawab Dio.


Ahh betul juga…di antara beruang, serigala, dan robot-robot tak bertuan yang pernah diceritakan Pak Jahidin, kami menjadi salah satu bagiannya.

See Other Writings

Find More About Me

Find More About Me